COVID/KOKFIT?

KokFIT? Sesuai dengan judulnya, kali ini aku ingin cerita tentang pengalamanku terjangkit COVID-19 kemarin, tapi kondisiku lumayan biasa-biasa saja.

Jadi, mulai dari tanggal 28 Juli sampai, well ga tau sampe kapan tepatnya ya, sebut saja sampai kemarin (krn hari ini baru rapid lagi dan hasilnya akhirnya negatif) aku positif COVID-19. Selama 13 hari ini, secara overall aku merasa tidak seperti sakit yang berat atau badan menjadi lemah sekali. Untuk kasusku, aku mengalami satu hari di mana rasanya kondisi aku paling parah di hari tersebut. Hari itu adalah hari Sabtu tanggal 31 Juli. Pada hari itu aku demam, batuk, lemas, pegal-pegal, sakit tenggorokan, jantung detaknya agak kencang, serta agak engap-engap sedikit rasanya. Tapi, keesokan harinya kondisiku jauh lebih baik dan tidak panas dan terlalu lemas lagi. Memang di hari-hari lainnya aku merasa mudah lelah, anosmia, dan agak batuk-batuk, tapi secara overall aku merasa “fit-fit” saja. Maka dari itu aku bertanya-tanya, “Kok Fit? kan Covid.”

Ternyata dari pengalaman ini aku bukannya bisa jadi “sombong” atau bangga karena corona virus disease yang aku alami cenderung ringan dan tidak berat walau aku sebenarnya punya komorbit asthma. Sebaliknya, perjalanan recovery ini menjadi kesempatan buatku untuk refleksi diri dan lebih bersyukur. Aku menyadari bahwa NEVER TAKE ANYTHING FOR GRANTED ONLY! THEY ARE ALL “FREE” BUT CAN BE TAKEN AWAY FROM OURSELF, ESPECIALLY IF WE DON’T TOOK CARE OF THEM PROPERLY.

Sebuah Diskusi Singkat: gender EQUALITY

Kemarin, hari Jumat, aku bersama teman-teman salah satu komunitas gerejaku mengadakan pertemuan rutin. Pertemuan tersebut dinamakan pertemuan sel. Biasanya, salah satu agenda kami di dalam pertemuan tersebut adalah berdiskusi mengenai suatu topik tertentu. Topik yang kemarin kami diskusikan adalah tentang kesetaraan gender di dalam kehidupan bermasyarkat dan dalam hubungan antar satu sama lain. Sebenarnya topik tersebut merupakan topik hasil request-an ku. Aku merasa pengen aja, mengetahui gimana pandangan orang lain dan berusaha drawing conclusion yang terbaik tentang bias stigma society yang akhirnya menjadi masalah gender inequality dan bagaimana menyandingkannya dengan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang seharusnya memang saling melengkapi (namun sama-sama excel di bidang yang dilengkapinya, bukannya yang satu lebih dianggap atau memiliki akses yang lebih dari pada yang lain), bukannya sama persis.

Jadi, all-in-all dari hasil diskusi kemarin, bisa disimpulkan kami setuju, bahwa permasalahan ketidaksetaraan gender yang terjadi sekarang ini (terutama di Indonesia dan mungkin juga di negara berkembang lainnya) sebenarnya didominasi oleh stigma yang masih tertanam di masyarakat itu sendiri tentang ketidaksetaraan gender yang memang terjadi di masa lalu. Sebab, apabila kita melihat ke industri-industri profesional misalnya, kesetaraan gender tidak begitu menjadi masalah. Permasalahan ini juga nampaknya diawali dengan hal yang ditanamkan alias diajarkan kepada kita pada masa kecil serta juga pergaulan kita.

Selain itu, kami juga sempat berdiskusi ke ranah kehidupan dan hubungan antar perempuan dan laki-laki pada zaman manusia prasejarah. Kami berdiskusi sedikit berbagi pengetahuan kami (yang juga tidak banyak) tentang hal tersebut. Bagaimana dulu sebenarnya peranan laki-laki dan perempuan mirip-mirip, hingga akhirnya perempuan karena memilki anak dan harus mengasuhnya jadi cenderung mau lebih menetap dan tidak nomaden, sehingga akhirnya menemukan cara bertani dan tidak harus berpindah-pindah terus. Hal itu (katanya) mulai menjadi asal muasal kenapa ada diferensiasi bahwa perempuan kerjanya di dapur, ngurusin rumah dan anak, hingga dibilang tidak memerlukan pendidikan yang tinggi-tinggi, sementara laki-laki boleh berpendidikan tinggi karena harus menafkahi dan memimpin keluarga.

Jadi, singkat kata, langsung lompat saja ke kesimpulan. Kami menyimpulkan bahwa akar permasalahan dari kurangnya inklusifitas gender sekarang ini adalah karena stigma yang masih berkeliaran di masyarakat, sehingga kita tertarik ke realita-realita tersebut. Akan tetapi, kami juga masih bingung untuk mendeduksi secara pasti, mana yang harus dirubah, mana yang baik untuk dipertahankan, dan mana yang harus dikembangkan lagi, karena memang susah juga menarik batasan baku di dalam isu ini, sebab berhubungan dengan banyak hal (yang kami juga tidak punya pengetahuan mendalam di ranah tersebut). Dua konklusi yang bisa kami tarik dari hasil diskusi ini adalah kesempatan yang sama merupakan hal utama yang harus diberikan dan menjadi hak orang dengan identitas diri apa pun yang mereka miliki, ekspresikan, atau percayai (either gender, etnis, agama, orientasi seksual, kondisi tubuh, sindrom, atau lain sebagainya). Kedua, solusi yang paling baik dan praktis sepertinya adalah dengan mengajarkan keturunan kita nanti untuk tidak men-judge dengan membeda-bedakan identitas diri yang satu dengan yang lainnya harus seperti apa. Kita harus tetap membentuk keturunan kita dengan nilai yang kita anggap baik (nothing is absolute in this case, it just our representation of things that we experienced that build that reality or absoluteness; but I also believe that our representation is also influenced by the power that is beyond us all: GOD) namun dengan memberikan mereka ruang yang mengakar di dalam diri mereka untuk tidak men-judge satu sama lain berdasarkan degnan identitas diri mereka, melainkan melalui kemampuan, proses, usaha, dan hal-hal lain yang lebih akurat dan lebih objektif.

#7

Nulis apa ya?

Niat awalnya mau cari inspirasi dari nonton2 YouTube, eh malah jadinya nyangkut ke video menarik, lalu ke video lainnya yang lebih menarik lagi, lalu video demi video lagi yang mungkin tidak begitu menarik juga sebenarnya. Akhir-akhirnya malah jadi procrasinating dan mood udah menjadi turun, begitu pula dengan energi. Maka dari itu, akhirnya aku menutup tab postingan semipalar.ning.com ini dan lalu bersiap-siap untuk tidur.

Untungnya hari ini tidak. Aku merasa sudah bisa lebih aware terhadap masalahnya kenapa susah nulis dan bisa memposisikan diri agar bisa mengambil hikmah dari coba menulis tiap hari ini. Masalahnya sepertinya datang dari beberapa hal, yakni gabungan dari perfectionist aku (jadi berekspektasi), pusing mulai dari mana dan apa yang mau ditulis (lagi-lagi, sebagian ada hubungannya juga dengan ekspektasi tadi), lalu perasaan yang tidak enak yang jadi muncul dan akhirnya membuat tidak tenang karena bingung-bingung. Beberapa hari yang lalu kak Andy mengontak aku dan menanyakan kenapa aku berhenti juga. Lalu kak Andy mengingatkanku untuk kembali menulis sambil membagikan beberapa tulisan pak Ahkan dan kak Andy sendiri. Tulisan-tulisan tersebut akhirnya menjadi pemantik aku untuk kembali mencoba menulis setiap hari ini (alias atomic essay).

Aku tahu bahwa kegiatan menulis setiap hari ini bisa jadi seperti pengganti atau supplementary dari journaling. Maka dari itu, sepertinya solusinya agar kegiatan ini bisa berjalan adalah dengan berusaha menempatkan diri bahwa tulisan ini gunanya untuk refleksi diri dan atau terapi, jadi aku bisa menumpahkan saja perasaan apa yang ada di dalam benak, “hati”, maupun sekitarku (tidak memperdulikan bagaimana hasilnya, bagaimana bandingannya dengan tulisan orang lain).

Sekian thank you! (tanpa koma)

#3

Pada suatu hari yang sudah berlalu (wkwk lupa lagi kapan) aku ikut kegiatan komunitas Sant’Egidio, sebuah komunitas Gereja Katolik yang bergerak di bidang sosial. Hari itu adalah kali keempat aku mengikuti kegiatan dengan komunitas ini. Biasanya, kami hanya mengantarkan makanan kepada beberapa tempat tinggal sahabat jalanan (disebutnya, orang-orang marginal)

Tadi aku mengobrol dengan beberapa teman-teman anggota komunitas, namanya XX, XY & YX, ya ada lah wkwk. Kami mengobroli tentang macam-macam, salah satunya adalah tentang perjalanan hidup. Temanku ini sekarang berumur sekitar 27 tahun. Ia menyampaikan beberapa cerita serta juga saran mengenai pengalamannya tentang hidup.

Dari obrolan tersebut, aku berusaha tetap open-minded dan tidak menyanggah pemikiran-pemikiran yang ia berikan yang menurutku tidak harus seperti itu, berbeda, atau bisa di-alter lagi agar jadi lebih baik dan sesuai. Selain itu aku juga sambil berupaya untuk mengembangkan percakapan dengan pemikiranku juga. Aku juga mencoba memberikan saran bagi permasalahan yang ia ceritakan.

Menarik juga, melihat dan merasakan perbedaan pemikiran, cara melihat situasi, dan ways to do things orang lain yang background-nya benar-benar berbeda dan tentunya range umurnya juga berbeda (aku: 7 tahun yang ketiga; YX: 7 tahun yang keempat). Hal itu jadi membawa aku ke kesimpulan bahwa cara orang memandang (observe) dan beraksi (reacting based on what he/she observed before) tidak ada yang benar atau salah, hanya aksi dan reaksi dari apa yang dialami sebelumnya. (MUNGKIN, hehe)

oke sekian thank you

#2 TAKUT/SERAM

Hari ini tanggal 8 Juni 2021. Enam hari lagi adalah tanggal 14 Juni 2021. OK tulisan ini gak cuman buat ngitung hari aja lah ya. Bagi yang belum tahu, hari Senin minggu depan (alias 14 Juni) adalah hari pengumuman hasil Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2021. Aku sendiri telah menjalankan ujian tertulis berbasis komputer (UTBK) yang diadakan pada bulan April dan Mei lalu, tepatnya aku kebagian untuk ujian pada hari Rabu tanggal 14 April lalu. Saya mendaftar ke fakultas STEI ITB dan jurusan Ilmu Komputer UI (ya masih seputar computer science atau electronic.

Aku sendiri sebenarnya merasa agak khawatir dan takut menghadapi pengumuman hasil SBMPTN ini. Tetapi, mungkin takutnya beda dengan yang lain. Aku merasa takut kalau saja saya ternyata (entah bagaimana) diterima SBMPTN pada jurusan yang saya daftar itu.

HAH?! LOH KOK ANEH?! SOMBONG, GITU HAH?! hahaah enggak2 kok, jadi emang kalau orang lain takut untuk gak diterima di PTN, aku malah takut kalau diterima karena aku ingin gap-year terlebih dahulu wkwkwk. Gap-year buatku adalah waktu untuk belajar mata pelajaran MIPA, dalam rangka persiapan menghadapi UTBK tahun 2022. Nah, untuk UTBK tahun depan aku ingin memiliki performa yang maksimal dan terbaik. Aku ingin hasil SBMPTN 2022-ku menyatakan bahwa aku diterima di ITB (or better). AMIN!

Selain belajar, aku ingin menggunakan waktu 1 tahun ke depan ini untuk mengerjakan hal-hal yang belum sempat aku eksplorasi selama di KPB, misalnya seperti mencoba mengikuti kompetisi, memperluas jaringan dengan bergabung bersama komunitas, mengikuti online course, dan lain sebagainya. Akan tetapi, fokus utama aku akan tetap mengarah kepada belajar mata pelajaran yang akan diujikan di UTBK.

Sekian, semoga aku bisa menjalankan masa depanku dengan sebaik-baiknya dan dapat mencapai yang terbaik, sambil tetap memiliki kontribusi positif terhadap masyarakat.

#1 THE BEGINNING

In the beginning, there was something, and then the lights go out and there is nothing but darkness (and the glowing green exit signs). But in that darkness, we are getting fueled by the pure feeling of excitement. The excitement of not knowing what will happen for the next 90/120/180 minutes; BUT, for certain, ready to uncover the unknowns. And then we begin!

Well, that was a glimpse of my imagination when I start watching movies in the cinema. “Something in the beginning” represents the long advertisement that ALWAYS makes the movie starts late. Meanwhile, the “90/120/180” represents the duration of most movies.

Watching movie in the cinema is one of a way to embrace imagination and reality, but also our moment to escape our everyday life (and task) and just enjoy. I really admire that feeling when the lights go out and the movie we ordered starts rolling because in that very moment we are entering our “escapement” process, from our reality to the film’s reality. For myself, that moment is important to hold because of its uniqueness, that we can really start to enjoy other’s reality and not thinking about ours. And then, after that, we are welcomed back to our actual reality when the credit scene is running and the lights are turned back on. I feel good when I am able to get lost in between those moments and not thinking about my life.

In this pandemic season, we are forced to limit our way to express this feeling. Watching in cinema has a huge difference from only watching at home (in terms of feeling). Yesterday, I just got a chance to visit and watch again in cinema. Tough, we still have to follow the health protocol, I am grateful that I can re-experience that emotion that I explained earlier. That really boosted my feeling.

Perbandingan Buka Kamera dan Tutup Kamera Saat Konferensi Video (mana yang lebih baik?)

Halo teman-teman, berjumpa lagi pada blog-ku kali ini. Pada kesempatan ini, aku ingin membagikan opiniku yang berasal dari diskusi bersama yang pagi ini aku lakukan bersama dengan teman-teman sekelas, mengenai fenomena open-cam atau close-cam pada saat melakukan konferensi video. Diskusi ini berawal dari kejadian yang cukup sering berulang pada saat melakukan konferensi video bersama orang yang lebih tua atau memiliki “peran” yang lebih tinggi (misalnya: kepala sekolah), yaitu diminta untuk membuka kamera (open-cam) ponsel atau komputer saat melakukan diskusi atau kelas dengan metode konferensi video. Fenomena tersebut nampaknya juga menjadi umum terjadi pada banyak orang yang mengikuti konferensi video, terutama pada masa pandemi COVID-19 ini. Apakah teman-teman juga merupakan orang-orang yang merasakan fenomena tersebut? Nanti tulis di kolom komentar ya! Oke, langsung saja masuk ke dalam pemaparan opiniku ya…

Fenomena open-cam adalah fenomena pada saat kita membuka kamera dan memperlihatkan wajah kita kepada orang-orang yang berada dalam sesi konferensi video (untuk mereplikasi interaksi yang terjadi pada pertemuan biasanya). Sementara fenomena close-cam adalah kebalikan dari fenomena open-cam.

Menurutku, baik kita membuka kamera sepanjang sesi konferensi video, membuka kamera hanya pada saat berbicara, atau tidak membuka kamera sama sekali sepanjang konferensi video, masing-masing akan memiliki pengaruh positif dan negatif terhadap orang pertama (orang yang berbicara) dan juga orang kedua (orang-orang lain yang mendengarkan).

Sesi diskusi melalui salah satu platform konferensi video

Menurutku, orang yang membuka kameranya (open-cam) secara terus-menerus sepanjang sesi diskusi, presentasi, maupun kelas yang menggunakan konferensi video, memiliki pengaruh positif terhadap orang-orang lain yang ada di sesi konferensi video  tersebut dengan memberikan respek kepada mereka. Hal itu disebabkan karena dengan membuka kamera, orang lain yang ada di dalam sesi video konferensi menjadi merasa dihargai, karena itu bisa menjadi salah satu bentuk penghormatan atau respek terhadap orang lain. Akan tetapi, ada sisi buruk yang bisa aku hipotesiskan terjadi, sebagai pengaruh dari membuka kamera secara penuh sepanjang sesi video konferensi, yaitu membuat orang lain kehilangan konsentrasi saat mengikuti kelas atau webinar. Hipotesisku berargumen bahwa, pada sesi kelas, webinar, atau presentasi, umumnya hanya ada satu orang yang memaparkan materi atau memberikan pertanyaan dan jawaban, sehingga video peserta lain yang mengikuti kegiatan konferensi video tersebut menjadi tidak relevan. Akibat hal itu, peserta lain bisa malah jadi terganggu, terdistraksi, dan membuat energi peserta terpakai untuk melihat video-video tersebut (sehingga menjadi tidak energy-effiecient).

Akan tetapi, menurutku pengaruh negatif yang barusan aku paparkan itu berlaku sebaliknya saat kegiatan konferensi video yang dilakukan adalah diskusi, debat, atau sesi brainstorming. Hal itu disebabkan karena saat melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, kita “engage” secara langsung dengan orang-orang yang ada di dalam konferensi video tersebut, sehingga video setiap peserta menjadi relevan. Maka dari itu, menurutku apabila kita sedang melakukan hal-hal yang sifatnya melibatkan interaksi secara langsung dari setiap orang (misalnya: bertukar argumen atau pendapat), sebaiknya semua peserta memang membuka kameranya. Melainkan pada sesi konferensi video yang melibatkan interaksi secara tidak langsung dan bersifat cenderung pasif (misalnya: mendengarkan dan memberi tanggapan singkat), sebaiknya hanya ketua atau pemateri saja yang membuka kamera. Namun, selain sifat kegiatan ada faktor lain lagi yang juga memengaruhi kebutuhan open-cam/close-cam ini. Hal tersebut membawa kita kepada aspek berikutnya, yaitu kebebasan atau fleksibilitas peserta. (jeng, jeng, jeng….)

Dalam mengikuti atau menjalani sebuah konferensi video, peserta tentunya juga membutuhkan kebebasan pada saat sedang tidak berbicara (saat sedang bersifat pasif, misalnya pada saat mendengarkan peserta lain). Hal tersebut membuat aspek ini harus juga masuk ke dalam pertimbangan mengenai kebutuhan membuka atau menutup kamera yang sedang kita bahas ini. Menurut pengalaman dan hasil observasiku, pada saat orang tidak membuka kamera, ia akan merasa lebih bebas dan fleksibel untuk mengikuti konferensi video tersebut, sambil juga mengerjakan hal lain. Hal lain yang aku maksudkan, bukan pekerjaan lain yang bersifat negatif, misalnya pekerjaan yang mendistraksi fokusnya terhadap hal yang sedang dibahas. Akan tetapi, pekerjaan ini bisa juga merupakan pekerjaan yang berhubungan atau malah mendukung hal yang sedang dibahas di dalam konferensi video tersebut. Pekerjaan yang bisa dikatakan “sambilan” ini menurutku sebenarnya malah berfungsi untuk membantu peserta konferensi video untuk tidak jenuh, hingga akhirnya malah tidak fokus. Mengenai hal itu, saat melakukan pekerjaan sambilan ini, perlu diperhatikan kadarnya, agar bisa tetap seimbang dan berpengaruh positif, bukan sebaliknya. Akan tetapi, apabila kita tidak membuka kamera pada saat sesi konferensi video kelas atau presentasi, orang yang menyampaikan bisa saja merasa tersinggung atau menjadi tidak yakin, mengenai penerimaan peserta terhadap hal yang disampaikan. Hal tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan cara memberikan konfirmasi melalui suara secara berkala, sehingga juga membuat pembicara tidak merasa seperti berbicara sendiri.

Selanjutnya, aspek terakhir yang ingin aku bahas adalah jumlah peserta konferensi video. Menurutku, jumlah ini menjadi berpengaruh dengan kebutuhan membuka atau menutup kamera karena dua hal. Hal pertama yang memengaruhi adalah terkait siapa yang sedang berbicara. Hal ini mungkin tidak menjadi pengaruh apabila peserta dari konferensi video masih terhitung sedikit, misalnya kurang dari sepuluh hingga lima belas orang. Akan tetapi, apabila peserta konferensi video sudah melebihi lima belas orang, hal ini akan mulai terasa. Hal kedua yang menjadi pengaruh adalah aspek yang sebelumnya sudah aku bahas, yakni kebebasan atau fleksibilitas. Menurutku, apabila konferensi video ini diikuti oleh banyak orang, kita akan menjadi lebih ketat dalam menjaga sikap dan postur tubuh yang kita perlihatkan lewat kamera. Hal tersebut terjadi karena kita akan merasa lebih malu dan gengsi apabila kedapatan bersikap tidak serius atau tidak pantas oleh banyak orang. Namun, hal itu juga masih dipengaruhi oleh konteks peserta yang berpartisipasi dalam konferensi video tersebut. Misalnya, apabila konferensi video itu hanya antara teman saja, maka kita mungkin akan lebih santai terhadap pandangan teman-teman kita. Akan tetapi, apabila kita melaksanakan konferensi video bersama rekan kerja atau guru, mungkin kita akan lebih ingin memperhatikan gambaran diri yang kita tunjukkan kepada mereka.

Pada akhirnya, keputusan yang kita ambil, baik itu membuka atau menutup kamera kita selama sesi konferensi video, kembali lagi kepada diri sendiri. Orang seperti apa yang ingin kita tunjukkan kepada peserta konferensi video yang lain, di mana kita sedang berada, seberapa besar kepercayaan diri dan fleksibilitas yang kita butuhkan, apa saja kompromi yang harus dilakukan dan apa konsekuensinya, serta banyak lagi pertimbangan lainnya. Menurutku, intinya kita harus mencari keseimbangan antara hal yang kita inginkan dan cara kita mendapatkannya, serta menyadari apa pengaruhnya bagi orang lain. Menurutku, metode terbaik untuk menemukan keputusan yang paling tepat, antara membuka kamera atau tidak pada saat mengikuti konferensi video adalah dengan bereksperimen sambil bersikap mindful terhadap hal yang kita perbuat, serta dampaknya.

Sekali lagi, semua hipotesis yang aku berikan pada tulisan ini merupakan pendapatku semata. Pendapat tersebut didasarkan dari observasi dan pandangan beberapa orang lain. Semoga tulisan ini bisa tetap bermanfaat dan menjadi inspirasi teman-teman, terutama bagi kalian yang memiliki kebingungan antara membuka atau menutup kamera saat melakukan konferensi video. Sampai jumpa lagi di tulisanku berikutnya!

Kata KASAR, baik atau buruk? (tulisan opini)

Halo teman-teman, setelah lama vakum (untuk yang kesekian kalinya), aku ingin kembali menulis dan membagikan lagi cerita kepada kalian. Kali ini aku akan membagikan hasil diskusiku bersama dengan teman-teman sekelas mengenai opini, pandangan, dan argumen terkait dampak kata kasar yang sebenarnya ada pada kehidupan sehari-hari. Diskusi ini awalnya dipicu dari pertanyaan saya,
“Apakah bahasa kasar atau bicara kasar itu sebenarnya buruk atau baik? Apakah itu hanya berupa preferensi gaya saja? Apa pengaruhnya untuk pribadi dan kelompok? Perlu diingat, hasil diskusi yang aku bahas pada tulisan ini bersifat opini, sehingga bersifat sangat subjektif dan tidak bisa ditentukan secara absolut atau pasti kebenarannya.

Oke, jadi berdasarkan dari pertanyaan-pertanyaan itu, kami membicarakan mengenai pandangan dan hipotesis awal kami masing-masing. Aku berhipotesis, bahwa percakapan atau omongan yang seringkali disertai oleh kata kasar mungkin sebenarnya akan membuat orang yang menggunakannya menjadi cenderung lebih sulit dalam mengendalikan dirinya. Menurut aku, pengendalian diri tersebut menjadi terpengaruh karena pada saat kita terbiasa untuk mudah berbicara kasar saat mengobrol, bersenda gurau, atau justru saat marah, maka kita secara tidak sadar tidak menahan perasaan atau keinginan untuk berbicara kasar tadi. Akan tetapi, selain itu aku juga berasumsi, bahwa berbicara kasar sebenarnya dapat meningkatkan keterbukaan atau kepercaya diri, walaupun menurutku, kadarnya tidak begitu besar. Aku menduga bahwa dengan menggunakan kata-kata kasar dalam obrolan sehari-hari, misalnya saat bercakap-cakap dengan kelompok pertemanan, kita bisa jadi makin terbuka dan berani untuk menyatakan pendapat atau perasaan kita, karena terbiasa “berani” saat berbicara kasar, tidak ditahan, atau pun merasa, “Aduh gak enak euy.” Akan tetapi, menurut temanku yang lainnya, pengaruh bicara kasar terhadap keterbukaan atau kepercaya diri tidak terbukti terjadi pada semua orang, karena memiliki teman yang tidak suka berbicara kasar tapi juga terbuka dan berani. Lalu, ada satu lagi manfaat yang menurutku disebabkan oleh berbicara kasar, yaitu sebagai media penyaluran emosi. Hal ini menjadi positif apabila digunakan secara terukur dan tidak malah menjadi kebiasaan.

Selain dampak, dalam diskusi ini kami juga membicarakan tentang tujuan dari digunkannya kata-kata kasar dalam percakapan. Kami semua setuju, bahwa dalam percakapan biasa, kata-kata kasar biasanya sebenarnya digunakan sebagai “bumbu” tambahan agar membuat pertemanan terasa semakin akrab dan seru. Setelah itu, kami juga membuat tingkatan (tier) bahasa kasar menurut kami masing-masing. Pada tingkatan ini, kami semua memiliki kesamaan, yaitu anti terhadap kata kasar yang melibatkan kelamin atau hubungan seksual. Hal tersebut disebabkan karena konteksnya yang sudah terlalu menyimpang dan membuat tidak nyaman. Terakhir, apabila ditanya, “Kesimpuan apa yang bisa diambil dari tulisan ini?” aku tidak bisa memberikan jawaban pasti, karena keadaan kita semua berbeda-beda, sehingga pastinya kesimpulannya akan bersifat personal. Namun, satu hal yang pasti, bahwa kita harus terus merefleksikan diri dan memutuskan, hal mana yang terbaik untuk dilakukan. Bagaimana kalau menurut teman-teman? Tulis di kolom komentar ya, tanggapan, respon, pandangan, atau mungkin argumen yang kalian miliki!

Demikianlah tulisan aku kali ini. Semoga dengan tulisan yang cukup singkat ini, teman-teman tetap bisa mengambil makna dan informasi yang ada di dalamnya. Semoga kita semua bisa menjadi lebih mind-full lagi, terhadap apa yang kita katakan dan dampaknya terhadap orang lain serta juga terhadap karakter kita sendiri. Semoga komunikasi kita bisa menjadi lebih tepat dan berpengaruh positif terhadap diri kita juga. Terima kasih dan sampai jumpa!


Referensi:

Cisang-KUY (Cisangkuy, sebuah jalan di kota Bandung)

Bandung. Hmm, apa kata pertama yang muncul di benak kalian? Apakah itu, dingin, atau PVJ, atau macet, ataukah itu Gedung Sate, atau mungkin rumah? — Silakan komen dibawah bagi yang ingin menjawab ya! — Kalau aku sendiri yang ditanya seperti itu, mungkin aku akan menjawab macet, karena memang gila, ya, macetnya Bandung sangat parah di beberapa titik. Belum ditambah lagi dengan dengan sepeda motor hingga mobil yang sembarangan menyeberang jalan dan teriknya matahari pada siang hari, melengkapi hari-hariku di Bandung saat normal (sebelum pandemi corona ini ya). Omong-omong tentang Bandung normal, kangen juga ya, dengan situasi tersebut. Setelah hampir dua bulan menjalani social distancing dan work from home, perasaan kangen untuk menjelajahi ragamnya kota Bandung sudah mulai muncul terus menerus di benakku. Maka, kali ini aku akan menghadirkan “perjalanan virtual” di salah satu tempat favoritku di kota Bandung, yaitu jalan Cisangkuy.

Secara geografis, jalan Cisangkuy terletak di sebelah Gedung Sate dan hampir berseberangan dengan Museum Geologi. Jalan Cisangkuy sendiri terbentang dari jalan Diponegoro hingga ke Bundaran Pet Park (cukup jauh kalau jalan kaki, walau terbayangnya dekat hehehe, pengalaman pribadi). Sebenarnya, jalan Cisangkuy ini hanyalah nama jalanan yang mengarah ke Bundaran Pet Park saja, sedangkan yang mengarah ke arah sebaliknya bernama jalan Cilaki.

Di sepanjang jalanan itu, terdapat banyak sekali penjual makanan, apalagi saat malam hari, wah, jalanan itu pasti ramai dan penuh oleh penjual makanan kaki lima. Ada pecel lele, ada pecel ayam, ikan bakar, nasi goreng, bandrek, gorengan, dan masih banyak lagi. Secara pribadi, aku merasa kangen dengan jalanan-jalanan sekitar situ. Bukan hanya karena jajanan makanannya yang siap menumpas lapar, tanpa menumpas banyak isi dompet, tapi juga karena suasananya yang sangat khas. Suasana adem, dengan dikelilingi pepohonan di taman Lansia (yang terletak di kedua jalan tersebut) dan sekitarnya, jalanan tersebut memberikan feeling khas tersendiri bagi pejalan kaki. Feeling yang muncul pada pagi, siang, ataupun malam hari tampak berbeda-beda namun tetap nyaman —eak— dan menenangkan perasaan risau akan semrawut dan macetnya kota Bandung.

Yoghurt Cisangkuy, Cisangkuy, Bandung - Lengkap: Menu terbaru, jam ...
Beberapa menu yoghurt di Yoghurt Cisangkuy

Aku sendiri, apabila berkunjung kesana, aku sering mampir ke salah satu tempat makan legendaris, yang sudah berdiri sejak aku belum lahir, yaitu Yoghurt Cisangkuy. Biasanya, tempat itu selalu dipenuhi pengunjung setiap harinya. Sesuai dengan nama restorannya, menu andalan yang ditawarkan tentunya adalah yoghurt. Memang, yoghurt di restoran ini rasanya maknyus tenan, mungkin karena teknik atau campuran yang digunakannya berbeda dari yoghurt lainnya. Selain rasa yoghurtnya yang enak, ternyata ada sejarah menarik yang tersimpan dibalik restoran itu. Rupanya, cita rasa yang konsisten dari makanan dan minuman di Yoghurt Cisangkuy disebabkan oleh kepemilikan yang diwarisi secara turun-temurun. Awalnya, restoran itu dirintis oleh ibu Hartiah pada tahun 1976. Namun sekarang, restoran itu telah diwarisi kepada anaknya, yaitu ibu Sumarni. Sejak awal berdiri, restoran ini memang tempatnya menggunakan teras, halaman, dan garasi dari rumah ibu Hartiah. Hal itu membuat restoran itu sederhana namun sangat cozy, mantap deh pokoknya.

Setelah selesai menyeruput yoghurt di Yoghurt Cisangkuy, mungkin ada baiknya, apabila kita menyeberang ke taman lansia. Walaupun namanya Taman Lansia (Lansia = singkatan dari lanjut usia), tapi taman itu tidak melulu isinya orang lansia. Ada banyak sekali anak muda, dan orang-orang dengan berbagai umur di sana. Ada yang membawa anaknya ke sana untuk bermain dan berfoto, ada yang berkumpul di sana untuk senam, ada yang hanya bersantai dan menikmati teduhnya hutan kota, atau bahkan ada sekelompok pramuka homeschooling yang “bermarkas” disana. Aku sendiri, pernah membuka lapak perpustakaan di sana. Aku menyediakan mulai dari buku anak hingga buku untuk orang tua. Pada saat itu, cukup banyak anak-anak yang mampir ke lapakku. Mereka terlihat cukup antusias untuk membaca buku-buku itu. Nah, berdasarkan pengalamanku itu, mungkin saat situasi sudah normal lagi nanti, kalian juga bisa mencoba untuk membuka suatu “lapak” di sana, untuk menyalurkan minat kalian. Misalkan kalian suka melukis atau menggambar, nah taman kota bisa menjadi salah satu tempat yang baik untuk menunjukkan hasil karya kalian kepada orang-orang. Selain itu, kalian juga bisa menjual jasa kalian, misalnya dengan melukis sesuai dengan permintaan pengunjung, dan lain sebagainya. Lalu, apabila kalian suka fotografi, taman seperti Taman Lansia juga akan sangat cocok untuk hunting foto, ataupun memberikan seminar kepada orang-orang awam mengenai fotografi. Selain contoh-contoh itu, tentunya kalian bisa berkreasi sendiri dengan ide kalian masing-masing, yang pastinya sesuai dengan interest dan skill kalian.

Lanjut dari taman Lansia, kita bisa melanjutkan perjalanan kita ke arah Bundaran Pet Park. Apabila ini adalah hari Minggu, pasti jalanan ini dipenuhi dengan kuda-kuda yang siap disewakan untuk kebanyakan anak-anak yang mau merasakan sensasi naik kuda dan juga dagangan-dagangan Pasar Minggu di sepanjang jalanan itu. Layaknya Pasar Minggu di berbagai tempat di Indonesia, di sana banyak penjual baju, mainan, makanan, dan juga hiburan-hiburan seperti kuda tadi. Namun, apabila hari ini hari biasa, kalian akan menemui keramaian hanya hingga persimpangan pertama (ada 3 persimpangan hingga tiba ke Bundaran Pet Park (termasuk persimpangan di bundaran tersebut). Selanjutnya, kalian akan ditemani oleh jalanan yang relatif sunyi dan mungkin suara burung atau tonggeret yang lumayan menemani perjalanan ini. Setelah menyusuri jalanan itu selama 10 hingga 15 menit, kalian harusnya sudah sampai pada Bundaran Pet Park.

Soto Sokaraja

Pertanyaannya adalah, “Apa yang akan kalian lakukan disana? Apakah kalian harus membawa anjing kalian kesana? Ataukah berdiri di tengah bundaran tersebut, sambil menunggu jodoh menghampiri kalian?”. Jawabannya adalah, tidak perlu (tapi kalau kalian mau, ya silakan saja, hahaha). Tepat setelah kalian tiba di sana, terdapat satu lagi tempat makan yang akan memenuhi rasa haus kalian terhadap datangnya jodoh (ups..). Nama tempat tersebut adalah Soto Sokaraja. Bagi yang belum pernah mendengarnya, tempat makan ini menyediakan Soto yang khas dari Sokaraja, yaitu suatu daerah yang ada di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Soto ini berisi daging yang bisa kalian pilih sendiri, antara daging sapi atau ayam, dipadukan dengan kuah kuning yang menghasilkan rasa enak dan khas. Selain itu, di dalam satu mangkok soto terdapat taoge, daun bawang, sohun, dan serpihan kerupuk, lengkap dengan bumbu kacang yang bisa bebas kalian tuangkan sesuai dengan selera kalian. Harga dari soto ini juga tidak mahal, sekitar 20 ribuan saja.

Setelah makan kenyang, tidak terasa saya pun sudah pegal mengetik, hahahaha. Jadi, mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mengakhiri tulisan ini. Terimakasih bagi teman-teman yang sudah meluangkan waktunya membaca, semoga bermanfaat dan bisa mengobati rasa rindu kalian akan berkegiatan normal di kota Bandung ini (atau malah membuat kalian ngiler dan jadi kesal karena tidak bisa ke sana sekarang). Sampai jumpa lagi, dahh!!

Sekisah Pergumulan Dengan Toko Permen – CERITA PENDEK MENGINSPIRASI

Aku tinggal di pinggiran suatu kota yang ada di kawasan pedesaan Italia. Di samping rumahku, terhempas latar hijau yang berasal dari ladang dan perkebunan luas milik salah seorang pengusaha sukses dari Inggris yang membeli tanah-tanah di segala penjuru Eropa untuk dijadikan ladang dan perkebunan. Setiap pagi aku menempuh perjalanan sekitar satu kilometer untuk tiba di tokoku. Biasanya, aku memilih untuk menggunakan sepeda ketimbang motor vespaku, karena jarak tempuhnya tidak terlalu jauh.

Keseharianku adalah sebagai seorang pengusaha permen, camilan, dan minuman soda. Banyak orang dari kota yang lewat ke desa tempat tinggal ku dan membeli permen atau soda dari tokoku. Hampir setiap hari mereka bersempit-sempitan mengantre di toko sederhanaku ini. Selain pelancong asing yang kebetulan melintasi desa, banyak juga anak-anak yang datang dari desa setiap hari dan selalu datang untuk membeli camilan berlapis gula, yang entah akan menyebabkan mereka diabetes atau apa saat besar nanti.

Sebetulnya tokoku ini tidak terlalu besar, paling tidak hanya enam petak tanah, lagi pula empat petak tanah lainnya diperuntukkan sebagai pabrik pembuatan permen. Awalnya, aku mempekerjakan beberapa teman sekolahku dulu di pabrik itu. Namun, baru satu bulan pertama saja mereka lalu keluar dan memilih untuk beralih kerja di kota. Mereka mengeluh bahwa aku tidak menggaji mereka dengan cukup dan memperlakukan mereka terlalu kasar. Memang, aku suka membentak mereka saat mereka santai-santai bermain scopa (permainan kartu yang sangat populer di Italia) saat jam istirahat telah selesai. Aku tidak mengerti kenapa mereka tetap memilih untuk keluar, padahal pada akhir minggu ketiga akhirnya aku beri mereka kesempatan untuk bermain bersama. Lagipula, pada saat itu mereka semua tidak ada yang mau datang untuk menerima tawaranku, jadi kuanggap mereka sudah lelah bermain permainan itu dan tidak ada masalah sama sekali denganku. Sejak itu, aku mencoba untuk mendatangkan permen dari salah satu temanku yang adalah produsen makanan ringan di kota, kebetulan ia juga memproduksi permen dengan beberapa varian rasa.

Seperti yang tadi sudah kuceritakan, bahwa toko permenku ini biasanya sangat ramai dikunjungi oleh orang yang sedang dalam perjalanan dari satu kota menuju ke kota lainnya. Akan tetapi beberapa hari ini tokoku terlihat sepi pada hari Senin hingga Rabu. Entah apa yang menyebabkan hal itu. Aku hanya bisa mengira-ngira, mungkin itu karena ada toko oleh-oleh baru yang katanya dibuka di tengah kota. Menurut tetangga-tetangga ku, toko itu hanya buka pada hari Senin hingga Rabu. “Hmm, aneh” pikirku, “Untuk apa toko oleh-oleh hanya buka pada hari-hari itu? Mengapa tidak buka pada akhir pekan saja yang jelas ramai pengunjung?” pikir-ku lagi.

Beberapa hari kemudian, aku mendengar kabar, bahwa orang yang membuka toko itu adalah pendatang baru dari Swis. Ia baru saja pindah dari Swis sekitar satu bulan yang lalu. Memang kata orang-orang sekitar toko-ku, ia cukup terkenal dulu saat ia membuka toko oleh-olehnya yang pertama di Swis. Ia sudah pernah beberapa kali diliput oleh televisi berita setempat mengenai kesuksesan-nya dalam membuka toko oleh-oleh disitu. Awalnya aku merasa biasa-biasa saja, sebab aku masih meraup untung dari hasil pemasukan yang kuperoleh dari pelanggan yang datang pada akhir pekan. Karena hal itu, aku tidak merasa terlalu cemas, lagipula anak-anak desa masih cukup sering membeli jajanan permen dan minuman bersoda milikku.

Tak terasa sudah dua bulan sejak dibukanya toko oleh-oleh yang mendadak laris di tengah kota itu. Lama kelamaan aku mulai kekurangan pelanggan. Penghasilan tokoku juga sudah makin berkurang hingga kira-kira dua puluh persen dari pendapatanku pada hari-hari biasanya. Lebih parahnya lagi, pabrik produksi makanan ringan milik temanku itu tidak lagi memproduksi permen. Sambil meminta maaf padaku, ia menyampaikan bahwa ia juga mulai mengalami krisis yang menyebabkannya harus menghentikan produksi dari beberapa produk yang kurang menguntungkan, salah satunya adalah permen.

Aku mulai frustrasi dengan kondisi ini, sebab apabila ini berlanjut, maka aku akan kehilangan penghasilan dan mungkin juga tokoku pada akhirnya. Aku mencoba berpikir dan mencari cara untuk keluar dari situasi sulit ini. Lalu, aku teringat pada Mateo, beliau adalah mentorku pada saat aku membangun usaha toko permen ini. Aku mencoba menelepon Mateo dan menceritakan kondisiku. Setelah itu, aku pun menanyakan padanya mengenai saran apa yang ia miliki untukku. Namun, alih-alih memberiku opsi mengenai hal apa yang bisa aku lakukan, ia malah berkata, “Hei, sekarang kamu sudah dewasa. Kamu sudah bisa menentukan langkah hidupmu secara mandiri, toh nanti kamu juga yang akan menjalankannya sendiri. Saya tidak bisa lagi mengatur atau memberi tahu hal apa yang harus kamu lakukan, karena saya juga sudah tidak tahu dan tidak perlu tahu pasti, apa yang persisnya kamu alami, bagaimana kondisi sekitarmu, bahkan bagaimana kondisi dirimu sendiri. Ingat saja semua yang sudah saya beritahu padamu dulu dan jangan lupa berdoa, karena Tuhan yang maha tahu pasti akan menuntun jalanmu kepada yang terbaik. Oh iya, terakhir tolong ingat kamu harus konsisten dan konsekuen dengan perencenaan yang kau buat itu.” Di dalam hati, aku sempat berpikir, wah percuma aku mengontak Mateo kalau aku tidak mendapat apa-apa darinya. Namun akhirnya, setelah memahami betul ucapannya dan merenungkannya sejenak, aku merasa kepercayaan diriku terbangun kembali dan siap untuk membuat rencana bisnis yang akan menyukseskan kembali bisnis toko permen ini. Setelah berterimakasih pada Mateo, aku langsung mengambil buku yang berisi tentang teknik dan tips untuk membuat bisnis yang baik. Buku ini adalah pemberian dari Mateo, pada saat ia sedang mengajarkanku untuk memulai toko permenku ini.

Dua bulan berselang, aku akhirnya berhasil membuat dan menerapkan rencana bisnis yang mulai aku buat setelah selesai berkonsultasi dengan Mateo. Kali ini, aku membuat perencanaan tersebut berdasarkan diskusi yang aku lakukan terlebih dahulu dengan warga sekitar, orang tua dari anak-anak yang sering membeli permen dari tokoku, dan pemilik toko permen dari Inggris yang kebetulan melewati desaku dan mampir ke tokoku untuk membeli camilan selama sisa perjalanannya kembali ke Inggris. Aku membuat beberapa penyesuaian yang membuat tokoku bukan hanya seperti toko permen biasa, namun memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut muncul dari tempat makan yang aku buat di sebelah toko, dengan kursi kayu yang kutata agar konsumen yang makan dan duduk disitu bisa melihat pemandangan indah perkebunan Italia. Tak lupa, aku pun menyediakan buku, permainan papan, dan kartu scopa pada sebuah lemari kayu kecil yang terpasang di dinding luar toko. Terakhir, aku juga mengecat tembok toko dengan warna-warna cerah, setelah saran yang diberikan oleh pemilik toko permen di Inggris yang menghampiri tokoku beberapa waktu lalu. Pada minggu awal setelah aku membuka kembali toko permen ini aku kaget, karena tiba-tiba berdatangan pengunjung dari kota-kota hingga negara lain. Sekarang, mereka datang bukan hanya selewat untuk membeli camilan, namun untuk menikmati suasana pedesaan Italia.